Tionghoa-Indonesia
Tionghoa-Indonesia adalah salah satu
etnis di
Indonesia yang asal usul leluhur mereka berasal dari
Tiongkok. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah
Tenglang (
Hokkien),
Tengnang (
Tiochiu), atau
Thongnyin (
Hakka). Dalam bahasa
Mandarin mereka disebut
Tangren (
Hanzi: 唐人, "orang Tang") atau lazim disebut
Huaren (
Hanzi Tradisional: 華人 ;
Hanzi Sederhana : 华人) . Disebut
Tangren dikarenakan sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai orang
Han (Hanzi: 漢人,
Hanyu Pinyin: Hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam
sejarah Indonesia, bahkan sebelum
Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di
Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di
Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
[4]

Kata Tionghwa telah digunakan dalam surat setia kepada tentara Nippon ini.
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang Tionghoa di Indonesia, yang berasal dari kata
zhonghua dalam
Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai
Tionghoa.
Wacana
Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di
Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan
Orang Cina.
Sekelompok orang asal Tiongkok yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun
1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "
Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi
Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "
Tionghoa" di Hindia Belanda.
Berdasarkan
Volkstelling (
sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia pada tahun 1930.
[5] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.
[6]
Dalam
sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
[7]

Foto tahun 1967 keluarga Tionghoa-Indonesia dari Provinsi
Hubei, generasi kedua dan ketiga
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Tiongkok, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk sub-grup (minxi 民系):
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman
Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai.
Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
[butuh rujukan]
- Hakka - Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura.
- Hainan - Pekanbaru, Batam, dan Manado.
- Hokkien - Sumatera Utara, Riau (Pekanbaru, Selatpanjang, Bagansiapiapi, dan Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon.
- Kantonis - Jakarta, Medan , Makassar dan Manado.
- Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
- Tiochiu - Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga
warna kulit mereka kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut
Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut
Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Tionghoa, Jawa, Sunda dan Melayu.

Seorang pria Tionghoa berkuncir (
toucang) di jalanan
Batavia pertengahan tahun
1910-an.
Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan
Nusantara.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada
prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan
Asia Tenggara dan
anakbenua India. Dalam suatu prasasti
perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah,
Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di
Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain
sutera Tiongkok.
[8]
Catatan
Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi
Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Tionghoa muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar
Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.
[9] Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya,
Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari
Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun
kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.
[10] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".
[11]
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa
Raden Patah, pendiri
Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktikkan kultur Tionghoa.
[12]
Kitab Sunda
Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara
Ci Sadane (sekarang
Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan
Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah
Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di
Kalapa.

Ilustrasi pedagang Tionghoa di Banten

Sepasang mempelai Tionghoa di Salatiga, circa 1918
Pada masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar
Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya
So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia
[butuh rujukan]. Di Batavia, Mohamad Djafar menjadi kapten Tionghoa muslim yang terakhir (ke-dua). Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.
[13]

Pembantaian orang Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di Batavia
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan
VOC tahun
1740-
1743.
[butuh rujukan]Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong
[butuh rujukan] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti
pembantaian di
Batavia 1740 dan pembantaian masa
perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut
[14][15][3] melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan
Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan
Wijkenstelsel ini menciptakan permukiman etnis Tionghoa atau
pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Daerah Pecinan di Banjarmasin.
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal
17 Maret 1900 terbentuk di Batavia
Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, (kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan pada tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan
Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah
Budi Utomo.
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun
1909 di
Buitenzorg (Bogor)
Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA
Tirtoadisuryo mengikuti model
Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun
1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI,
Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di
Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pemerintah kolonial Belanda makin khawatir karena
Sun Yat Sen memproklamasikan
Republik Tiongkok, Januari
1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.
Dalam rangka pelaksanaan
Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya
passenstelsel.
Pada waktu terjadinya
Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain
Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya.
Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia
bumiputera sebagai pengganti kata Belanda
inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada
1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI,
Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor
John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah
Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar
Bung Karno dan
Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal
16 Agustus 1945. Di
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan
UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu;
Liem Koen Hian,
Tan Eng Hoa,
Oey Tiang Tjoe,
Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.
Yap Tjwan Bing.
Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu
Indonesia Raya yang diciptakan oleh
W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran
Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah
Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di
Hotel Oranye Surabaya.
Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri
Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti
Oei Tjoe Tat,
Ong Eng Die,
Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa
Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.
Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang
Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan
Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian
Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas
Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan
[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Reformasi yang digulirkan pada
1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di
Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di
Medan,
Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan
bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden
Megawati-
Hasyim Muzadi menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.
Kerusuhan Rasial terhadap Warga Tionghoa di Indonesia[sunting | sunting sumber]
Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo ,dll. serta berbagai kerusuhan rasial lainnya.
[16]
Beberapa contoh kerusuhan rasial yang terjadi yaitu :
- Bandung, 10 Mei 1963. Kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.[17]
- Desember, tahun 1966. Sekolah- sekolah Tionghoa di Indonesia ditutup pada bulan Desember.[18]
- Jakarta, tahun 1967. Koran- koran berbahasa Tionghoa ditutup oleh pemerintah.[18]
April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti-Tionghoa di Jakarta.
[18]
- Pekalongan, 31 Desember 1972. Terjadi keributan antara orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara pemakaman.
- Palu, 27 Juni 1973. Sekelompok pemuda menghancurkan toko Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
- Bandung, 5 Agustus 1973. Dimulai dari serempetan sebuah gerobak dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.[19]
- Jakarta, tahun 1978. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Tionghoa di setiap barang/ media cetak di Indonesia.[20]
- Ujungpandang, April 1980. Suharti, seorang pembantu rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati karena dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
- Medan, 12 April 1980. Sekelompok mahasiswa USU bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
- Solo, 20 November 1980. Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda suku peranakan TiongHoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang TiongHoa.[21][22]
- Surabaya, September 1986. Pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikannya suku peranakan TiongHoa. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang TiongHoa.[23]
- Pekalongan, 24 November 1995. Yoe Sing Yung, pedagang kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa.[24]
- Bandung, 14 Januari 1996. Massa mengamuk seusai pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya karcis.
- Rengasdengklok, 30 Januari 1997. Mula-mula ada seorang suku peranakan Tiong Hoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh. Percekcokan terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko TiongHoa.[25]
- Ujungpandang, 15 September 1997. Benny Karre, seorang keturunan Tiong Hoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi, kerusuhan meledak, toko-toko TiongHoa dibakar dan dihancurkan.[16]
- Februari 1998. Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara: Januari – Anti Tionghua.[16]
- Kerusuhan Mei 1998. Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei 1998. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut. Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut.[16][21]
- 5-8 Mei 1998. Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan: Ketidakpuasan politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.[16][21]
- Jakarta, 13-14 Mei 1998. Kemarahan massa akibat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok politik tertentu jadi kerusuhan anti-Tionghoa. Peristiwa ini merupakan persitiwa anti-Tionghoa paling besar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.[16][21]
- Solo, 14 Mei 1998. Ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghua.[16][21][26]
Peran Warga Tionghoa Bagi Republik Indonesia
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.Peran Sosial Budaya dan Pendidikan[sunting | sunting sumber]
Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koran
Sin Po, di mana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu Indonesia Raya setelah disepakati pada
Sumpah Pemuda tahun 1928.
Nama
Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh masyarakat
Indonesia, namun
Sie Kok Liong merupakan seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik
Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28 Oktober 1928.
Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi
Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu
Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden
Soekarno nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.
Di Medan dikenal kedermawanan
Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap
Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan
Mesjid Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.
Saat ini di
Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh
PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya kurang lebih 50 miliar rupiah.
[butuh rujukan]
sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia